SELAMAT DATANG TEMAN!

Senin, 02 November 2009

Perjuangan

Hasil dari pemilihan anggota pengurus, memiliki jumlah yang berfareasi. Disebabkan memang sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan.
Kalau untuk Departemen Pendidikan sampai berjumlah 9 anak anggotanya, karena mereka di jobkan pada bagian TPQ untuk mengajar. Namun untuk anggota dibawah pimpinan Dede selaku pimpinan Departemen Seni dan Olahraga sampai belasan anak. Mereka tergabung dalam grup Rabbana yang menjadi salah satu program kerja Departemen Seni dan Olahraga.
Terus untuk Departemen Kaderisasi dan Dakwah, Farid memilih setiap Desa yang ada di Kecamatan Sempor ada, guna kepentingan koordinasi. Namun kesulitan untuk mencari remaja yang ada di seluruh Desa, paling seadanya. Dari jumlah 16 Desa yang ada di Kecamatan Sempor hanya ada 12 Desa yang masuk dalam kepengurusan ‘RIMAS’ untuk kategori seksi kaderisasi.
Untuk Departemen Kaderisasi dan Dakwah ada yang bertugas menjaga perpustakan di rumah Rahayu. Dan ini juga diseleksi oleh Rahayu selaku sekretaris umum untuk penjaga yang hanya satu persyaratannya, ialah wanita.
Hari ini. Dimana ada pengurus ‘RIMAS’, berkemungkinan besar terdapatkan lagi disibukan oleh kegiatan yang sudah menjadi agenda. Dimana hasil keputusan rapat hari minggu kemarin kalau setiap minggu ke 3 di adakan pengajian.
***
“Kur! Apa Rahayu sudah selesai membuat surat undangan dan selebaran?” tanya Alim sambil berjalan ditengah anak-anak kecil lagi sibuk membaca buku.
“Sudah,” singkat Kurni, salah satu penjaga perpustakaan dalam kondisi beres-beres buku di rak.
Alim yang dibuntuti Farid langsung memisahkan diri dari Farid yang menuju salah satu sudut rak buku. Alim melangkah menuju kepada wanita yang sedang mengetik di depan komputer.
Alim terhenti langkahnya saat mengetahui penghuni komputer belum dikenalnya. Si wanita yang di dekati oleh Alim menghentikan jarinya dari menekan-nekan sejumlah tombol di keyboard, setelah mengetahui langkah Alim terhenti dihadapannya.
“Mau ngambil undangan yah mas?” tanya gadis sekitar masih 14 tahun itu penuh ramah.
“Oh, iya,” jawab sedikit gerogi Alim.
Farid yang sempat dibuntuti Alim, sudah terkondisikan mengorek-ngorek buku.
“Siapa namanya yah?” Tanya Alim.
Si gadis yang ditanya hanya tersenyum, sekaligus menyodorkan udangan ke Alim.
“Vivi namanya,” jawab Kurniati mewakili Vivi. Kemudian menekan Alim dengan berkata,”masa sesama pengurus tidak tau namanya.”
“Memang, harus mengenal semuanya? Jumlah penguruskan banyak. Kalau hanya disibukan saling berkenalan. Kapan mau berjuang?” Alim mencoba membela diri sambil memasukan undangan ke dalam tas.
“Bukankah Islam mengajarkan harus saling kenal mengenal,” Kurni mencoba menekan kembali. Lalu berbicara ke Farid guna minta dukungan,”betul tidak mas Farid?”
Alim serasa mati kutu.
“Kurang lebih seperti itu,”jawab cepat Farid masih dalam terkondisikan mencari buku. Kemudian mengganti topik pembicaraan dengan menanyakan kepada kedua penjaga ,”Rahayu sudah membuat proposal?”
“Sudah,“ jawab Rahayu yang muncul dari balik pintu yang menghubungkan antara ruang tamu dengan perpustakaan.
“Yah, kalau begitu sekalian saja untuk mencari sponsor,” cetus Alim, tapi wajahnya berubah datar saat Rahayu berada di perpustakaan.
Setelah beberapa menit Farid mengorek-ngorek buku. Akhirnya ia menemukan buku yang dicarinya yang berjudul ‘Joice’ karya Ahmed Deedat.”Aku sewa Yu.” Lalu melangkah mendekat ke Alim, dimasukan buku itu kedalam tas rangsel yang digendong Alim.
“Mas farid pinjam buku apa? Kelihatannya tebal,” selidik Vivi dengan nada ramah sambil menyodorkan kertas peminjaman buku.
“Paling Ayat-Ayat Cinta,”tebak Alim sekenanya.
“Wah, berarti sama dengan kesukaanku dong.” Nada Vivi ramah sedikit terselip manja.
Farid nampak tak tergiur dengan pancingan sedikit manja Vivi, yang seolah mengajak berdialog dengan manja.
“Ayat-Ayat Cinta? Yang cuma menang setingnya saja,”nada Alim seolah kurang suka,”mana mungkin Farid baca seperti itu. Farid itu bacanya buku berkualitas.”
“Ayat-Ayat Cinta juga berkualitas!” masih dalam manja, Vivi mencoba membela novel Ayat-Ayat Cinta.
“Settingnya saja di Mesir. Coba kalau di Desa Kedungwringin, mana mungkin bagus,” terang Alim.
“Kamu cuma hanya terfokus pada seting! Coba seluruhnya. Pasti bagus,” Vivi yang terlanjur fanatik coba kembali membela.
Kalau mengingat Desa Kedungwringin yang berada di sebrang waduk Sempor, memang kurang menyenangkan bagi orang yang anti dengan suasana sepi, takut lelah, dan malas berpetualang. Bagaimana tidak! Kesana harus menyebrang dengan perahu yang memakan waktu lebih dari 1 jam. Sampai di sana disambut dengan jarak rumah yang berjauhan, meski penduduknya ramah, terus suasana jalan yang naik turun.
“Sudah, sudah,”Rahayu menengahi,”Oh, ya, Lim. Gimana jualan kamu?”
Dengan laga yang seolah ingin menghindar pertanyaan dari Rahayu, tapi keburu Rahayu sudah bertanya, akhirnya dijawab sebisanya,”Mmm...,biasa.”lalu Alim bertanya ke Vivi,”Semua sudah lengkapkan keperluan yang akan aku dan Farid bawa?”
Vivi yang seolah sedang mencerna pertanyaan Rahayu mengenai ‘jualan’, ke Alim langsung menjawab,”iya, beres. Ini proposalnya.”
Farid langsung mengambil setumpuk kertas berjilid pemberian Vivi guna di masukan ke Tas.
“Yakin Yu semua sudah beres?” tanya Farid untuk meyakinkan.
Rahayu hanya manggut untuk membalas perkataan Farid.
“Perasaan Rohim yang jadi ketua. Kok kamu yang memeringati,” setengah sindir Alim ke Farid.
Farid yang di sindir melirik Alim.
Tanpa pikir panjang setelah mendapatkan sejumlah undangan, Reklame, Proposal. Alim langsung mengajak Farid untuk menunaikan tugas. Mereka berdua langsung bergegas pergi melewati beberapa anak kecil yang sedang asyik membaca guna menunaikan tugas.
Persepsi Rahayu atas cara ajakan Alim ke Farid yang sedikit terkesan bermasalah, merupakan alasan agar dia cepat-cepat meninggalkan ruangan perpustakaan.
Tak lama kemudian Rahayu bersuara sedikit di perkeras ke Alim, karena jarak Alim yang sudah di bibir pintu perpustakaan,”Tenang saja Lim! Kalau memang pertanyaanku barusan merupakan sebuah rahasia! Akan aku rahasiakan!”
Alim terdiam, tanpa menoleh.
Sejumlah anak kecil yang menjadi bagian penghuni perpus menyaksikan cara Rahayu memperkeras suara.
Kurni dan Vivi yang sempat memasang gelagat ingin bertanya seputar Alim tentang ‘jualan’. Langsung tertahan setelah Rahayu berkata ‘akan rahasia rahasialkan’.
Rahayu serasa sangat menyesal atas tindakannya bertanya ke Alim tentang ‘jualan’ 5 menit lalu.
Rahayu yang sudah rapi, langsung menyusul Alim dan Farid pergi guna meninggalkan perpustakaan,”Vi. Jangan lupa. Kalau nanti pengurus lain mau ngambil surat untuk kebutuhan mereka. Semuanya ada di lemari laci no 2 di bawah telephon, ada di samping kamu itu. Sekiranya ada yang kurang, atau sedikit permasalahan seputar tugas kesekertarisanku, Kamu bisa cek di folderku yang berjudul namaku yang berada di My Dokumen,”terang Rahayu sambil merogoh saku.
Setelah dapat benda yang di rogoh Rahayu, kemudian melemparnya benda itu ke Vivi.
Vivi yang menangkap benda berupa kunci hasil lemparan Rahayu sedikit kaget.
Rahayu pun melanjutkan penerangannya,”Dan itu kunci perpustakaan. Satunya lagi kunci yang menghubungkan dengan ruang tengah. Selama aku di Jogya. Kalian berdua aku pasrahkan perpustakaan ini ke kalian berdua. Oke!”
Vivi dan Kurni saling tatap sejenak, diiringi bengong. Merasa tidak yakin atas perlakuan Rahayu yang telah mempercayainya begitu saja ke mereka. Apa lagi ada kunci penghubung yang dapat menjelajahi sebagian besar rumah Rahayu.
“Loh! Kok malah pada bengong,” kata Rahayu.
“Beres bos,” tanggap singkat Kurni.
Rahayu tersenyum aneh, saat panggilan ‘bos’ hadir. Ini kebiasaan tak asing lagi kalau teman mengangkat derajatnya, yang dapat mengusik masalah seputar kedudukan dari segi duniawi.
Kebengongan Vivi dan Kurni masih berlanjut, bersamaan dengan matanya mengiringi kepergian Rahayu yang melewati pintu perpustakaan terbuat dari kaca.
Dalam hitungan puluhan detik. Pintu perpustakaan yang terbuat dari kaca itu di buka oleh Rohim dengan penampilan seputar wajah sedikit kusut yang menemani ekspresi wajahnya kusut pula, meski pakaian sudah terlihat rapi. Rohim pun berjalan mendekat ke Vivi dan Kurni yang sedang duduk berdampingan di depan komputer melewati sejumlah anak kecil dalam perpus yang sudah berkurang.
Kurni dan Vivi memandang ke Rohim penuh tanda tanya. Seolah Rohim sedang kemasukan hawa kesal.
“Rahayu mana?” tanya Rohim ke dua penjaga perpus tiba-tiba.
“Barusan pergi ke Jogya,” jawab Kurni dan Vivi hampir bersamaan.
“Ke Yogya! Kuliah?” tanya Rohim lagi.
Kurni mengangguk. Vivi menjawab dengan ramah,”Iya.”
“Terus semua urusan mulai dari surat-menyurat, proposal, dan lain-lain sudah selesai semua?” tanya Rohim.
Kurni kembali mengangguk. Dan Vivi pun kembali menjawab dengan ramah,”sudah.”
Rohim langsung meminta surat undangan untuk nara sumber.
Vivi yang dekat dengan laci yang dimaksud Rahayu pada acara serah terima tujuh menit lalu, langsung dibukanya. Terdapatkan olehnya surat untuk nara sumber.
Surat itu langsung di berikan ke Rohim.
Rohim yang sempat menyaksikan cara Vivi mencari surat dengan cepat, dapat menganalisa, bahwa sudah ada sejumlah surat yang sudah keluar.
“Siapa saja yang sudah bertugas?” tanya Rohim.
Dengan nada ramah, Vivi mencoba meledek Rohim, agar wajah kusut dan hawa kesal Rohim sirna,“Banyak Mas. Rahayu sudah menyelesaikan tugas surat menyurat, Fitri lagi tugas di TPQ membahas kedepannya dengan anggotanya, dan kami bertugas....”
“Disini!” potong Rohim, yang menebak lanjutan kata dari Vivi. Kemudian meralat pertanyaannya,”Maksudku yang sudah mengambil surat untuk kepentingan tugasnya masing-masing?”
“Mas Farid sama Mas Alim,” jawab Kurni dengan cepat.
“Tikno sudah mengambil surat peminjaman lokasi?”tanya Rohim yang menambah tingkat nada kesalnya.
“Belum,” jawab Vivi, bersamaan dengan gelengan kepala Kurni.
“Astagfirulloh!” Kata Rohim yang sudah tidak bisa membendung kekesalannya.
Rohim merogoh saku depan guna mengambil HP. Mencoba menghubungi Tikno. namun suara wanita yang menjawab dengan nada peringatan,”Maaf , jumlah pulsa anda tidak cukup untuk menghubungi.”
Dengan cepat Rohim langsung mematikan HP. Rohim melirik telephon rumah yang ada di samping Vivi.
“Kebetulan ada telephon. Minggir Kur. Vi. Aku mau pakai,” nada Rohim sedikit mengusir.
“Enak saja! Mau pakai telephon? Bayar!” kata Kurni mencoba menghalangi niat Rohim untuk memakai telephon.
“Eh, Kur! Itu telephon di taruh disini sama Rahayu kan untuk di pakai pengurus!” nada Rohim kesal.
“Tapi jangan lama-lama. Aku tidak enak sama ibunya Rahayu. Apalagi selama Rahayu ke Jogya. Lingkungan perpus, kami yang bertanggung jawab,” tandas Kurni.
“Iya Mas,” Vivi menambahi dengan nada ramah.
Setelah Kurni meberikan izin. Tanpa menunggu Kurni dan Vivi memberikan jalan ke Rohim. Rohim langsung memanjangkan tangannya meraih gagang telephon.
Vivi sedikit kelabakan menyaksikan cara Rohim meraih gagang telephon yang tepat ada disampingnya. Seolah seperti ingin menerkamnya,”Aduuh..! mas Rohim ini gimana! Masa main srobot saja. Nanti kalau aku ketabrak gimana?”
“Tidak mungkin!” tangkis Rohim sambil memencet nomor yang dituju.
“Dengan cara mas Rohim barusan. Itu bisa memungkinkan,”tandas Vivi.
“Ya, kebeneran!” kata Rohim.
Mendengar perkataan Rohim seperti itu. Vivi langsung menggangkat mouse, yang seolah ingin membenturkan ke kepala Rohim. Dimana Rohim dalam posisi menyanggah separuh tubuh bagian perut ke atas pada meja komputer yang tersisa dari monitor.
“Aduuh...! Ini bisa rusak semua alat elektronik orang! Tidak malu apa dilihat anak kecil!”setengah teriak Kurni. Yang menyaksikan Vivi masih memegang mouse menyatu dengan kabel lumayan panjang di angkat tinggi-tinggi, seolah ingin memukul Rohim memakai mouse. Rohim pun memegang gagang telephon yang tidak kalah tinggi untuk meladeni Vivi, seolah ingin berkelahi.
Rohim, Vivi, dan, kurni pun tersadar, entah sudah berapa lama anak-anak kecil yang sempat asyik membaca buku. Kini menyaksikan mereka bertiga.
Rohim sejenak mendengar kalau ada yang mengangkat telephonnya.
Rohim langsung mengeluarkan amarahnya,”Tiiikk! Kamu ini gimana? Masa kamu belum menego tempat untuk pengajian besok!”
Vivi dan Kurni langsung menutupi kedua telinganya sebisa mungkin untuk memperkecil gaungan amarah Rohim masuk ke gendang telinga, diiringi dengan wajah sedikit meringis. Juga anak-anak ada yang sedikit ketakutan dengan cara Rohim menelphon.
Rohim yang sedang menunggu balasan dari orang yang dihubungi, sejenak menatap Vivi sedang menutupi kuping kanannya dengan mouse rapat-rapat dan kuping kirinya dengan jari. Dan tatapannya langsung beralih ke Kurni sedang menutupi kuping sebelah kirinya dengan buku yang sempat dipegangnya dan kuping kirinya dengan jari.
Vivi dan Kurni perlahan-lahan membuka kupingnya.
“HALLO!” Rohim kembali berteriak di gagang telephon.
Dengan cepat, Vivi dan Kurni kembali menutupi kupingnya.
Rohim pun mencoba menunggu balasan dari lawan bicaranya.
Raut wajah mengekspresikan seolah ingin berteriak kembali. Tapi terhenti setelah mendengar balasan dari lawan bicaranya adalah wanita dengan nada lirih bersama nada khas indahnya yang pernah di dengar oleh Rohim,”Ini siapa? Kok suaranya seperi halilintar.”
Vivi dan Kurni menyaksikan raut wajah Rohim yang penuh amarah, dengan cepat berubah menjadi malu. Vivi dan Kurni pun langsung meringis lebar.
Rohim langsung menghadapkan tubuhnya ke dinding perpustakaan, agar tidak diketahui wajah malunya oleh Vivi dan Kurni,“Oh, ini Mba, maaf Mba, Rohim kira ini Tikno. memangnya Mba sekarang tidak dinas?”
“Ya...ampun. Rohim? Nelphon kok nadanya sekeras itu. Spesialis THT mahal loh,”nada Vena lirih, yang tidak bisa menyembunyikan keluhannya.
“Maaf Mba Vena. Rohim kira ini Tikno,” ucap Rohim mengulangi permintaan maafnya.
“Walaupun Tikno yang mengangkat. Mba juga tidak setuju dengan cara kamu menelphon seperti ini,” tandas Vena dengan nada indah lagi lirih.
“Ya deh. Aku minta maaf,” Rohim kembali meminta maaf dengan nada pelan.
“Begitu. Mba setuju. Memangnya ada apa kamu menghubungi Tikno?”
“Tiknonya ada kan Mba?” tanya Rohim pelan.
“Lagi tidur.”
“APA! Oh, maaf Mba. Tolong dibangunkan Mba,” Nada Rohim yang sempat meninggi, dengan cepat kembali mereda.
“Iya sebentar.”
Setelah cukup lama menunggu, Rohim mendengar suara menguap samar-samar di ujung telephon. Kini yakin kalau yang menguap itu adalah Tikno, dan pastinya yang angkat telephon berikutnya adalah Tikno.
“Hallo. Ada apa Him?”
“Heh Drakula! Kurang ngajar Ya! Malah masih tidur!”
Kekesalan Rohim tak terbendung. Sepertinya kalau kabel telephon bisa untuk transportasi singkat, Tikno bisa di muntilasi.
“Tenang, tenang Him. Ada apa?” nada Tikno seolah tanpa beban.
“Ada apa, ada apa. Kenapa kamu belum menjalankan tugas kamu untuk meminjam pemdopo untuk acara besok minggu!”
“Ini mau berangkat. Santai kenapa Him,” tandas Tikno yang tak kalah santai suaranya.
“Santai, santai. Mau ku palu gigimu! Cepetan berangkat!”
“Jangan terlalu serius kenapa Him.”
“Eh! Tik! Kamu tahu tidak? Undangan sama reklame sudah disebar oleh Alim dan Farid! Tahukan, kalau di dalam undangan dan reklame itu tertera tempat pengajian di pendopo! Kalau misalkan sudah di sewa orang terlebih dahulu. Kira-kira gimana kelanjutannya! Apalagi ini acara perdana ‘RIMAS’ untuk menggelar pengajian di luar masjid! Diketuai oleh aku lagi. Tahu kan atas terpilihnya aku itu karena aku anak seorang da’i. Jadi! Kalau kamu tidak bisa menego tempat untuk acara minggu besok, efek sampingnya banyak. Mulai dari aku, ayahku, dan ‘RIMAS’ itu sendiri!” terang Rohim tanpa spasi.
“Iya. Aku tahu.”
Rohim langsung menutup telephon. Sejenak menyaksikan disekitar yang sudah tidak terlihat dimatanya seorang pun. Sejumlah anak kecil sudah menghilang, yang ada hanya ada sejumlah buku dongeng yang berserakan. Kurni dan Vivi pun sudah tak terlihat.
Rohim melangkah ke sudut-sudut rak untuk mengetahui dimana keberadaan Kurni dan Vivi. Akhirnya, Rohim mendapatkan Kurni dan Vivi sedang membaca buku di pojok rak sambil duduk dilantai.
“Kur! Vi! Sedang apa?” tanya Rohim.
Wajah Kurni dan Vivi yang terhalang oleh buku perlahan-lahan menurunkan buku.
”Ya sedang baca,”terang Vivi ramah.
“Aku mau pergi,” pamit Rohim.
“Menghadap nara sumber Mas?” tebak Kurni.
“Iya,” singkat Rohim.
“Tidak sisiran dulu Mas,”kata Vivi memperingati lagi ramah.
“Nih!” kata Rohim sambil memamerkan tangannya untuk menyisir.
***
Farid dan Alim mengendari motor berbocengan melewati salah satu jalan sempit yang ada di Desa Sempor untuk menyebar undangan. Tak lupa, disetiap sudut jalan yang terbilang strategis mereka menempelkan selebaran untuk mempromosikan acara pengajian hari minggu besok.
Tentu, masih banyak lagi tempat-tempat lumayan strategis lainnya yang perlu di beri undangan. Setelah usai memberi undangan kepada salah satu pengurus yang ada di Sempor. Langsung cabut untuk menunaikan sebagian undangan yang belum sampai pada tangan yang berwajib.
Di sela-sela perjalanan menuju Desa Kaliputih, Farid yang memboncengi Alim berpapasan dengan Tikno dan salah satu anggota bawahannya sedang bersepeda motor dengan kebutnya.
“Hallo teman!” sapa Tikno.
Farid sedikit terkaget. Baru sadar pengendara motor yang mengenakan helm tertutup itu adalah Tikno, dapat diketahui dari suara sapanya dan anak yang dibawa bersamanya yang memakai helm terbuka, sudah dikenal sebagai anggota Tikno.
Alim pun menggeleng-gelengkan kepala saat menyaksikan anak yang di bawa oleh Tikno terlihat sedikit ketakutan yang disebabkan kekencangan motor yang dikendarai Tikno.
***
Kendaraan bertrayek jurusan Gombong-Kebumen melaju menuju Kebumen. Jalur yang dilalui kendaraan tersebut bisa dikatakan satu-satunya jalur selatan Jawa. Dikendaraan itu terdapat Rohim tepat duduk pada kursi penumpang dekat kaca bagian kanan nomor tiga dari depan dalam kondisi menikmati makan lontong dan martabak beli dengan penjual tenongan di Karanganyar. Beberapa pengamatan Rohim selama perjalan cukup berfareasi, mulai dari pegawai negri yang sebagian asyik membaca koran, serta ada yang tidur di meja pada jam kerja dapat di lihat melalui kaca jendela, sampai penjual asongan mondar-mandir menawarkan produk dengan berbagai jenis, juga tentunya pengamen dengan segala merk menjual suara. Dan dirasa pandangan yang baru saja di alami merupakan pandangan rutin yang tak dapat dielakan bagi siapa saja yang berkendara di pelbagai penjuru jalan raya di seluruh pulau jawa. Tiga pengamatan paling menarik bagi Rohim tersebut seolah menjadi keluhan dalam hati,”Bagaimana negara akan maju kalau pegawainya asyik tidur dan baca koran, padahal mereka sudah jelas di gaji negara setiap bulan. Palah mendingan penjual asongan yang bekerja keras untuk mendapatkan riski tak menentu. Kalau untuk pengamen kayanya aku perlu buat perusahaan rekaman agar bakat mereka tersalurkan, dari pada mereka harus kejar-kejaran sama kantib.”
Kadang Rohim berharap tidak ada penumpang lagi yang menyetop bis tiga perempat yang ditunggangi. karena waktu sudah menunjukan pukul 09.00 menurut jam tangan yang di pakainya. Padahal janji dengan nara sumber pukul 10.00 WIB. Namun akhirnya Rohim memutuskan pasrah untuk memastikan pukul berapa sampai di terminal Kebumen, belum lagi mencari alamat yang dituju. Rohim memang belum pernah ketempat yang dituju. Entah berapa puluh menit lagi untuk dapat ketempat seorang ustadz untuk menjadi nara sumber pada acara efen besar.
Rohim sejenak teringat sesuatu. Hasil dari berfikirnya, akhirnya ada keputusan baru pada pikirannya untuk mengambil HP disaku baju, dipencetnya tombol-tombol huruf, lalu mencari nomor sesuai keinginan.
***
“Mba Fitri, gimana kalau menghadapi santri-santri yang kadang nakal?” Tanya salah satu pengurus Departemen pendidikan bernama Seno yang menjadi salah satu ustadz di TPQ.
Fitri terdiam. Berfikir sejenak,”Yah…bagaimana yah. Yah, kita harus sabar.”
Seno yang mengajar Iqro jilid 3 memang selama mengajar santri Iqro jilid 3 kadang kewalahan dengan pola nakalnya.
Terus Anggota pengurus pendidikan lainnya si Rizal berkonsultasi seputar persiapan ujian kenaikan jilid,”Kalau target pelajaran belum memenuhi gimana Mba?”
“Huuu…!”Suara riuh dari sebagian pengajar.
“Makanya! Kalau mengajar yang aktif dong!” ledek sebagian pengurus lain.
Fitri yang memimpin rapat hanya diam saja menyaksikan anak buahnya saling memperpojokan dalam canda mulai dari awal rapat. Memang anggota seksi pendidikan teridiri dari golongan para pelajar kelas 2 SLTP sampai kelas 2 SLTA sederajat, jadi masih ada berbau kekanak-kanakan untuk menghadapi solusi permasalahan.
“Gimana? Aku yakin semua sudah siap!” kata Fitri, meyakinkan kepada anggota pengurus Departemen Pendidikan. Bahwa Rapat kali ini mempersiapkan ujian kenaikan jilid. Dede lagi memimpin rapat TPQ untuk keberlangsungan kegiatan belajar mengajar TPQ, mendadak perkataan ditengah jalan terhenti saat HP bernada SMS bersuara. Mengetahui isi SMS dari Rohim, Fitri tersenyum-senyum sekaligus sedikit menggelengkan kepala.
“Ada apa Mba?” Tanya Siti salah satu remaja yang menjadi Ustazdah yang berada disamping Fitri persis.
“Tidak ada apa-apa,” Jawab Dede sekaligus membalas SMS dari Rohim.
Dalam SMS yang berbunyi bahwa Rohim meminta nomor ustadz yang sedang dituju. Padahal saat rapat semua pengurus Departemen diadakan sudah dikasih.
“Pembahasan kita lanjutkan ke seputar undangan ‘BADKO’ kita diundang dari TPQ yang ada di Selokerto, namanya kalau tidak salah TPQ Al-Hikmah” lanjut pembahasan Fitri.
“Oh...TPQ Al Hikmah. Aku biasa mengaji disana Mba,” Tandas Seno.
“Oh yah!”
Seno mengangguk.
“Kalau begitu besok saya, seno dan...”
“Jieee...!” riuhan sebagian besar peserta rapat memotong pembicaraan Fitri.
Seno yang disejajarkan dengan Fitri langsung tersenyum maklum.

***
Terlihat tangan menyodorkan berupa surat peminjaman tempat di atas meja. Ruangan kantor yang hanya dihuni oleh satu penjaga, Tikno dan Joko.
“Pak, kehadiran kami ini ingin meminjam tempat pendopo,” kata Tikno meluruskan niatnya. Kali ini Tikno ditemani Joko Si anggota seksi kegiatan.
“Untuk acara apa?” Tanya salah satu petugas PLTA.
“Untuk kegiatan Diskusi,” Jawab Tikno.
“Oh ini dari ‘RIMAS’,” cetus petugas PLTA setelah membuka surat.
“Iya.”
“Waduh, pendoponya masih kelihatan cukup kotor, habis dipakai yang lain. Kalian mau membersihkannya?” terang petugas PLTA yang mengenakan seragam dinas.
“Mau pak,” jawab Tikno.
“Kira-kira berani bayar berapa menyewa pendopo,” tawar Petugas PLTA. dari segi berbicaranya terkesan antara sedikit serius dan candong kebercanda.
“Bapak mau minta berapa?” pancing Tikno.
“Minimal…” kata bapak petugas PLTA yang memakai baju dinas itu tertahan.
“Minimal berapa?” pancing Tikno lagi.
Bapak petugas itu berdiri dari duduknya dikursi yang sempat berhadapan dengan Tikno dan Joko dibatasi oleh meja sederhana. Kemudian mendekati Tikno bersama senyuman.
“Saya senang melihat pemuda seperti kalian,” puji bapak petugas sembari memegang punggung kanan Tikno.
Tikno terdiam. Petugas itu melanjutkan pembicaraannya,”Gratis!”
Dugaan Tikno salah, awalnya dalam kondisi sepi seperti ini pada hari minggu, mengira kalau ada perjanjian rahasia bahwa tawaran harga di rahasiankan untuk mendapatkan keuntungan pribadi dari satu penjaga ini,”terima kasih pak. Saya kira bapak akan menaruh harga tinggi.”
“Apakah kamu sempat berburuk sangka. Kalau kita akan mengadakan perjanjian kotor?”
Tikno yang seolah dapat dibaca oleh Penjaga PLTA itu langsung malu.
“Tidak apa-apa, mungkin pikiran kamu itu terobsesi pada beberapa oknum pengawai negri yang suka korup. Mulai dari korup uang sampai korup waktu. Yah, walaupun bapak kadang ditugaskan pada hari minggu sendirian, bapak juga berusaha pulang untuk pada waktunya. Kalau tidak, mungkin bapak sudah pulang jam segini,” terang penjaga kantor PLTA.
Tikno langsung berdiri. Menyodorkan tangan untuk berjabat tangan.
Penjaga PLTA itu langsung memenuhi ajakan Tikno.
“Maaf pak, atas buruk sangka saya, semoga saja banyak pegawai negri seperti bapak. Agar bangsa ini lebih produktif lagi!”kata Tikno setengah bersemangat.
“Saya juga bangga sama Mas Tikno, semoga banyak remaja seperti Mas Tikno. Agar tiang negara ini lebih kokoh lagi!” balas penjaga yang tidak kalah semangat.
Masih dalam jabat tangan Tikno berbicara untuk pamit,”kalau begitu saya permisi. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Tugas pertama berupa izin meminjam tempat terselesaikan.
Joko dan Tikno sempat bercanda masalah kendaraan dengan motor tentang siapa dulu yang membonceng dan menyupir di halaman parkir.
“Sekarang kamu di depan apa aku yang dibelakang,” tawar Tikno.
Dengan cepat Joko memenuhi tawaran,”ya jelas memilih…” perkataannya berhenti sejenak, setelah terpikirkan bahwa tawaran Tikno hanya menguntungkan dirinya. Mengetahui Joko sudah maksud lawakannya. Tikno tertawa ringan merasa berhasil mengecohkan pikiran Joko sekejap.
Motor mulai melaju. Juga mengawali pembicaraan Tikno pada topik baru yang tertunda, sebelumnya pernah dibicarakan ketika berkendara.
“Baru kali ini aku dimaki-maki sama Rohim, Jok.” Kata Tikno seolah tanpa masalah.
“Salah kamu. kenapa habis subuhan langsung tidur.”
“Kamu tau tidak Jok, mulai tadi malam Aku kena jatah ronda.”
“Ooh.”
“Harusnya Rohim mengetahui situasi baruku, kalau setiap malam minggu aku harus ronda untuk menggantikan ayahku yang dinas di Jakarta. Wajarlah kalau kesiangan untuk bertugas,” Keluh Tikno.
“Awal kita berangkat, kamu bilang kalau Rohim minta dimengerti situasinya tentang acara pengajian perdana yang di ketuai Rohim dan kekhawatiran reputasi ayahnya jatuh. Sekarang kamu yang minta di mengerti oleh Rohim kalau kamu setiap malam minggu ronda. Jadi sama-sama ingin di mengerti, seperti anak kecil saja,” kata Joko menyimpulkan.
Tikno yang mendengar kesimpulan Joko langsung bungkam.
***
Sebuah kendaraan bermotor berhenti. Alim yang membonceng Farid langsung turun dari motor. Langkahnya dengan cepat berjalan menuju pintu rumah yang dituju.
Tanpa tunggu lama lagi, Alim mengetuk pintu.
Pintu yang tertutup rapat itu belum ada panggilan dari penghuninya. Dengan sengaja Alim mengintip lewat jendela kaca untuk mengetahui situasi di dalam rumah. Tentunya untuk mengetahui ada penghuninya atau tidak.
Farid yang masih di atas motor, mengetahui tingkah Alim yang mengintip untuk mengetahui keberadaan di dalam rumah, langsung melempar batang pepohonan hasil petikan dengan cepat.
“Heh! Lim. Kalau Fitri sedang tidak pakai jilbab gimana? Diakan bisa malu,” lerai Farid.
Alim terkaget hasil lemparan Farid yang mengenai pundaknya. Alim menghentikan tingkahnya untuk melihat situasi di dalam rumah Fitri. Alim berjalan ke rumah tetangga Fitri.
“Mau kemana Lim?” tanya Farid, sekaligus turun dari motor.
“Mau bertanya ke rumah sebelah,” jawab Alim dalam kondisi masih melangkah.
“Tidak perlu Lim. Biar Aku sms Fitri saja, mungkin rapat TPQnya belum selesai,” kata Farid yang sudah duduk di bibir lantai teras rumah Fitri.
“Aku saja Rid yang sms!” nada Alim yang mengharap Farid menghentikan memencet-mencet tombol Hpnya.
Farid menghentikan memencet-mencet tombol HP. Tapi bukan karena perintah Alim. Melainkan kerena ada suara motor mendekat yang sudah di hafalnya.
Dari pandangan Farid dan Alim, nampak dikejauhan Fitri mendekat dengan motornya.
Farid dan Alim dapat menyaksikan kalau Fitri tersenyum atas kehadiran mereka berdua, meski tutup kaca helm menyamarkan wajahnya yang di hiasi kaca mata.
Perlahan namun pasti, hingga akhirnya motor yang di kendarai Fitri terhenti. Fitri pun semakin mendekat selepas turun dari motor, menapaki jalan sedikit berbatuan.
Akhirnya berhenti di depan Farid yang masih duduk di teras rumahnya dengan jarak dua meteran. Kemudian membuka helm.
“Assalamu’alaikum Rid. Lim. Sudah lama?” tanya Fitri ramah.
Farid ingin bersuara, namun keburu Alim menyerobot,”lama Fit. Sampai aku sempat tidur disini.”
Farid nampak sedikit kesal atas srobotan Alim.
“Tumben mampir kerumahku. Ada kepentingan apa?” tanya Fitri yang masih melangkah menuju pintu rumah, melewati Farid dan Alim dengan senyuman.
Farid yang jarang tersenyum, kini tersenyum. Begitu pula Alim.
“Begini Fit. Kita mau pinjam seperangkat alat pengeras suara,” kata Alim mengutarakan niatnya.
Sambil memasukan kunci ke lubang kunci pintu Fitri bersuara,”Loh! Harusnya kan Tikno yang mengambil peralatan. Kenapa kalian?”
“Tadi jalan kita berpapasan sama Tikno. Karena Tikno mengetahui kalau kita akan lewat sini, Dia sms untuk mengambil sejumlah peralatan pengeras suara dirumah kamu Fit,” terang Alim.
“Oh, begitu. Ayo masuk dulu,” ajak Fitri.
Atas ajakan Fitri, Alim menampilkan ekspresi senang, kemudian berjalan menuju pintu yang sudah berhasil di buka oleh Fitri.
“Hari minggu seperti ini Ibu, Bapak dan Adik kakak kamu dimana?” tanya Farid.
“Tanyanya komplit sekali Rid,” kata Fitri.
Farid tersenyum kecil, menunggu jawaban pasti dari Fitri sembari memandangi Alim yang terkesan ingin masuk kerumah Fitri dengan senang.
“Adik dan kakaku pergi ketegalan membantu bapakku keladang menanam pohon Albasia. Terus Ibu ku lagi arisan,” jawab Fitri.
Fitri yang telah melepas sepatunya langsung menuju sebuah salah satu ruangan.
Alim yang sempat terhambat oleh aksi Fitri buka sepatu untuk memasuki ruangan, kini Alim melanjutkan niatnya untuk masuk kerumah Fitri.
“Lim!” panggil Farid.
Langkah Alim terhenti. Menengok ke Farid.
“Kalau peralatan yang kita butuhkan sudah di dapat, kita harus cepat pergi.”
“Kenapa?”
“Tidak baik kalau Fitri hanya dirumah sendirian. Nanti bisa membuat fitnah.”
Alim menampilkan ekspresi ketidak setujuan atas kemauan Farid.
“Sebentar. Memangnya tidak bisa Rid,”pinta Alim.
“Tidak Bisa!” tegas Farid.
Alim kembali menampilkan ekspresi ketidak setujuan atas kemauan Farid yang seolah tidak bisa di toleransi.
Nampak Fitri dari pandangan Alim yang menuju ke Alim dengan membawa peralatan pengeras suara dengan sedikit keberatan.
Alim yang menyaksikan Fitri keberatan membawa gardus berisikan salon mini, kabel, dan mix langsung mendekat ke arah Fitri, agar peralihan dapat cepat di tangan Alim.
“He, Lim! Kalau di kasih tahu!” lerai Farid, yang belum mengetahui maksud Alim, mengapa Alim nekad untuk masuk.
Farid menuju pintu rumah Fitri. Farid menyaksikan barter antara kardus dengan sejumlah undangan yang dilakukan oleh Fitri dan Alim.
Fitri bingung dengan kelakuan Alim yang membantu agar menggantikan peralihan barang bawahan ini agar cepat terpindah ketangannya, serta memberikan sejumlah undangan. Padahal Fitri ingin meletakan dilantai kamar tamu terdahulu.
“Mau di bawa ke mana Lim?” tanya Fitri masih dalam bingung.
“Langsung di bawa saja Fit,” jawab Alim.
Alim melangkah keluar. Melewati Farid yang tersandar di dinding tembok rumah, tepat di samping pintu.
“Loh, kamu malah disitu. Ayo!” ajak Alim.
Farid terkaget dalam pandangan kosong kearah tanaman di depan rumah Fitri.
Farid langsung melangkah untuk beranjak pergi.
“Loh! Kalian langsung pergi? Tidak main dulu? Sekedar melepas dahaga,” nada Fitri yang seolah mengharapkan agar Alim dan Farid untuk hinggap di rumahnya sejenak.
“Lain kali saja! Tugas belum selesai!” kata Farid.
Fitri melihat-lihat undangan yang diberikan oleh Alim,”Loh! Tidak ada namanya Lim?”
“Isi saja sendiri! Sesuai keinginanmu siapa yang kamu ajak di daerah sini! Baguskan undangan buatanku! Seperti undangan mau nikahan!” nada Alim lumayan PD.
Fitri tersenyum. Farid mengalihkan pandangan dari senyuman Fitri, disebabkan merasa senyuman Fitri kali ini bukan untuknya.
“Sejak kapan bunga-bunga ini tertanam? Perasaan setengah tahun yang lalu tidak seperti ini!” Alim mencoba menggawali topik pembicaraan baru.
“Kurang lebih sejak 3 bulan yang lalu.” Tandas Fitri, terus melanjutkan kata dengan nada lumayan PD hasil kontaminasi perkataan Alim soal undangan,”Yaah, kalau di prediksi 4 bulan lagi insya Allah hasilnya lebih indah.”
“Yaah, kalau diprediksi 4 tahun lagi berkemungkinan semuanya tak seindah sekarang,” kata Alim yang tak kalah PD.
Fitri tersenyum,”Yah, aku berusaha untuk rajin merawat,”kemudian mengajak Farid berbicara,”Ya tidak Rid.”
Farid memanggut sekali diselingi melirik jam tangan,” sudah menjelang waktu Ashar, harus pamitan.”
Alim berkata sembari mengangkat gardus yang berisi perlatan seputar pengeras suara,”Kalau untuk rajin merawat aku bisa yakin. Ketidak yakinan 4 tahun tidak seindah sekarang, karena diacak-acak orang yang memasang tarub.”
Perlahan-lahan wajah Dede dari senyum berubah datar mengetahui maksud lawakan Alim. Sebaliknya, senyum Alim semakin menjadi. Yang maksudnya memasang tarub untuk nikahan dirinya.
Farid sang pengemudi motor sudah berada pada tempatnya. Alim yang membonceng memberikan salam,”Assaalmu’aikum.”
Bersama senyum Fitri membalas,”wa,alaikum salam.”
Motor sudah berjalan. Fitri sempat menyaksikan Alim mengambil salah-satu bunga yang sudah mekar. Kemudian Alim membalik pandangan guna memamerkan hasil petikan bunga ke Fitri.
Benar juga cara berfikir Alim yang sejauh itu. Memang sejumlah tanaman bunga begitu mepet dengan teras. serta sudah dibatasi sebelah kanan rumah tetangga. Sedangkan sebelah kiri terdapat dua pohon besar.
***
K
alau kamu ingin mengetahui letak geografis Kecamatan Sempor secara detail, itu sangat mudah. Karena kalau merujuk melalui peta. Sempor itu tidak jauh beda dengan peta Jakarta. Kalau Masjid Taqwa yang terletak di Desa Jatinegara sebagai pusat sentral berbagai kegiatan berbau religius, sama saja dengan keberadaanya Masjid Istiqlal yang ada di Jakarta. kalau Desa Selokerto berada di bagian selatan, yang juga memiliki pasar. Yah, anggap saja pasar Selekerto itu merupakan Blok M, meski tingkat keramaian satu banding seratus. Terus kalau waduk Sempor yang menjadi salah satu pembangkit tenaga listrik di Indonesia itu berada di bagian utara Kecamatan Sempor, ini sama saja berada Di Jakarta utara, kira-kira sejenis Taman Impian Jaya Ancol. Bedanya kalau Taman Impian Jaya Ancol sebagian besar sudut rekreasi berhubungan dengan laut, kalau Sempor sebagian besar berhubungan dengan waduknya. Di tempat rekreasi terdapat banyak sisi rekreasi yang biasa buat mangkal para pengunjung. Ada pula satu jalan raya yang menghubungkan antara kota Banjarnegara, Wonosobo dan Gombong.
Sulit memang untuk mendeskripsikan kalau kamu bukan asli orang Gombong. Untuk lebih mengenalnya, tinggal mampir saja. Kamu akan terkenang dengan lanting bumbu sebagai makan ringan khas di kota Gombong.
Salah satu sisi rekreasi waduk Sempor yang kegunaanya memilki banyak manfaat, sebagian besarnya yang itu menjadi Tenaga Pembangkit Listrik, pengairan sawah, dan tempat rekreasi itu terdapat pendopo, disitu yang akan dijadikan sebagai tempat pengajian berupa diskusi. Dari segi fisik pendopo hanya bisa menampung tidak lebih dari 200 anak, untung situasi taman yang dasarnya berupa gundukan rumput dapat dijadikan cadangan kalau nanti jumlah peserta diskusi membludak diluar jangkauan tempat yang tersedia.
Nampak beberapa pengurus sedang bersibuk ria dalam segala hal yang berkaitan seputar acara nanti. Mulai dari Dede dan Tikno bersama anggota pengurus sibuk mengatur tata letak ruangan diskusi. Terus Rahayu sedang duduk dikursi satu-satunya yang hanya didampingi satu meja untuk daftar hadir yang terletak tepat dipinggir selasar jalan utama memasuki pendopo, sedang mengecek kembali data-data untuk memastikan bahwa semua undangan sudah tersebar keseluruh penjuru Desa yang terdapat kegiatan berbau Islami. Dan Alim bersama Sidik tenggelam dalam kesibukan memasang Dekorasi hasil karya seni Dede dan anggotanya. Sidik di sela-sela mengurusi dekorasi juga kadang mengecek Hp yang menunggu balasan SMS untuk mengetahui dimana keberadaan Farid si Ketua Departemen Kaderisasi dan Dakwah. Tapi kalau ketua, lain halnya dengan kesibukan pengurus lainnya. Rohim malah larut mempelajari merangkai kata-kata untuk dalam rangka persiapan sambutan ketua.
Dalam kesibukan masing-masing, selang beberapa menit Farid dan salah satu anggota pengurus mendaratkan kendaraan beroda dua tepat di parkiran yang sudah tersedia biasa buat parkir para pengujung rekreasi. Dan sebelumnya tempat pakir sudah terisi beberapa kendaraan beroda dua dan sudah ada satu mobil Avanza milik Rahayu.
“Rid dari mana saja?” Tanya Sidik setengah berteriak di dalam pendopo lagi sibuk memasang dekorasi.
“Motorku sempat macet dijalan!” keluh Farid yang tak kalah keras suaranya.”Ada apa Dik SMS aku dijalan! Maaf tidak balas! Pulsa pas habis!”
Sebagian penghuni pendopo geleng-geleng kepala.
Tikno berkomentar ke Farid yang sedang melangkah menuju pendopo,”Kasian amat nasibmu hari ini Rid.”
“Gitu-gitu juga pejuang. Ya kandang ada rintangan,” sela setengah sinis Rahayu yang membela Farid.
“Ehem,” Sidik berdehem. Lalu berkata ke Farid berupa perintah,”Rid beli Kodak.”
“Yah, kenapa tidak sekalian dari kemarin pas beli peralatan untuk dekorasi.” kata Farid mengeluh.
“Kemarin dana belum cair Rid,” Kata Bendahara alias Sidik memberi alasan.
“Kenapa tidak perintah yang lain dari tadi,” Farid mencoba sedikit mengelak.
“Kamu kan kenal dengan petugas Studio yang ada dipasar Gombong. Siapa tahu bisa diskon. Sekalian mampir beli kekurangan kertas. untuk diskusi nanti.” lanjut Sidik.
“Kan jauh. Memang di Jatinegara tutup.”
“Hari Minggu tutup.”
***
Ruangan kantor yang cukup sederhana memang diatur sedemikian rupa, agar tidak terkesan amburadul. Ruang kantor juga memiliki kemanfaatan ganda. kadang buat menyimpan berkas-berkas yang berkaitan dengan kegiatan TPQ dan juga rapat para Ustadz yang dibawah naungan Departemen Pendidikan yang diketuai oleh Fitri. Dan kalau hari ahad ke 1 buat rapat para pengurus ‘RIMAS’.
Di ruangan itu ada beberapa meja yang didampingi dua kursi khusus untuk ustadz dan didinding tertempel jadwal kegiatan belajar mengajar, serta data statistika keadaan santri, lalu ada 3 buah lemari yang kegunaanya menyimpan berkan-berkas. TPQ terdiri dari 2 Lemari dan lemari yang satu untuk kepengurusan RIMAS.

Dikantor itu nampak Rahayu sedang menaruh buku hadir dan buku agenda acara hari ini. Mendadak Tikno masuk keruangan. Kali ini hanya ada dua anak diruangan kantor.
“Assalamu’alaikum,” sapa Tikno di buat seramah mungkin.
“Wa’alaikum salam,” balas Rahayu tedengar pelan dan katanya secepat kilat.
“Apa? kurang jelas!” Tikno sedikit meledek.
Ledekan Tikno seolah tidak berhasil memancing hati Rahayu tertarik. Setelah Rahayu selesai menaruh buku absent dan jurnal hari ini. Rahayu jalan menuju kursi mengambil salah satu selembar kertas yang berada di meja dinasnya,. lalu saat hendak keluar dari Kantor, Tikno mencegat.
“Di perboden!” ledek Tikno sekaligus menghalangi Rahayu keluar.
“Minggir Tik!”
Tikno belum memberikan jalan. Lalu merayu,”Kenapa sih Yu, kelihatannya kamu sepertinya serius masih marah sama aku?”
Rahayu hanya terdiam.
“Heh! Ada apa!” Rohim meneplak punggung Tikno dari belakang.
Tikno terdiam hasil dari teplakan Rohim yang hadir tiba-tiba. Tanpa sadar perlahan-lahan tubuh Tikno memberikan jalan untuk Rahayu. Jalan terbuka lebar. Rahayu berkesempatan untuk keluar dari terkaman Tikno.
Saat Rahayu sudah jauh dari kantor. Rohim berdialog dengan Tikno.
“Ada apa Tik? Kelihatannya serius,” tanya Rohim.
“Memangnya aku punya tampang serius?”
“Walau tidak bertampang serius, tetap saja aku sudah tahu kalau kamu ada sesuatu sama Rahayu,” tandas Rohim.
Elakan Tikno sia-sia, memang selama kepengurusan Rohim menjadi ketua Rahayu dan Tikno sering seperti Kucing dan Anjing.
“Memang kamu belum tahu masalahnya?” Tikno pura-pura bertanya, padahal sebelumnya Tikno sudah memberi tahu apa alasan kenapa Rahayu seakan bermasalah dengan Tikno.
Rohim tersenyum ledek,”Kalau masalah sudah tahu. Tapi kurang keseriusanmu itu yang membuat aku bertanya.”
“Yaah, aku ingin berbaikan saja sama Rahayu. Tidak asik kan kalau baru mengenal kok musuhan yang terjadi.”
“Kamu sih. Bercanda tidak lihat situasi,” kata Rohim setelah mengambil buku di meja dinasnya.
Tikno terdiam. Cuma hanya pandangan sejenak yang ada ke Rohim. Otaknya sedang mencari jalan untuk bagaimana caranya agar dapat berbaikan. Tentu agar setiap efen acara tidak ada yang janggal untuk dibicarakan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar