allo! Nama ku Alim. Itu dulu. Tapi sekarang namaku Ali. Nama kepanjanganku Salim Firdaus. Kenapa bisa menjelmah menjadi Ali. Memang cukup panjang ceritanya. Berawal dari sebuah kritikan-kritikan yang masuk untuk sebuah nama, untuk pergantian dari sana-sisi. Bayangkan saja! Pertama dari nama Salim Firdaus adalah nama yang sangat berarti bagiku, nama Firdaus diambil dari salah satu nama syurga. Terus disisi lain ada sebagian temanku memanggilku Alim. Wah, waktu itu lumayan bangga juga. Gimana tidak bangga! Alim gitu loh! Aku sempat mempertimbangkan panggilan mana yang aku rasa cocok menurutku, antara panggilan Firdaus atau Alim. Akhirnya aku memilih Alim, yang memang sudah kebanyakan temanku memanggilku Alim. Tapi setelah ditelusuri lebih dalam ada yang mengkritik, yaitu Farid waktu mengisi kultum yang sudah biasa menjadi salah satu acara dalam susunan acara rutinan setiap hari ahad ke 2 dan 4 untuk pengajian.
Pas itu Farid bernasehat Bahwa Alim itu artinya ‘pedih’. Aku sangat kaget. Berarti selama pada masa itu aku di panggil ‘pedih’. Kok bisa begitu? Terus aku dengarkan lanjutan kultum Farid yang memang dia masalah seputar bahasa Arab jagonya. Gimana tidak? backgroundnya saja STAIN Purwokerto, mengambil jurusan bahasa Arab lagi. Dia kalau kultum, bicara pas rapat, atau bicara di diskusian seperti tokoh politik.
Ingin tahu dimana letak kesalahan? Ya dikata Alim yang depannya huruf alif kalau memakai abjad arab. Kalau depannya alif artinya pedih, tapi kalau depannya huruf ‘ain artinya orang yang berilmu. Pas waktu itu aku cukup berterimakasih kepada Farid yang telah memberikan masukan kepada teman-teman seperjuangan supaya jangan memanggil aku Alim. Namun suruh memanggil ‘Ali’. Kalau yang memnaggil aku adalah orang yang mengerti bahasa Arab, mungkin akan memanggilku Alim itu dengan menekankan awal abjad panggilan dengan memakai huruf ‘ain, seperti halnya Farid kalau menyapa aku, sebelum perubahan namaku menjadi ‘Ali’ itu tidak bermasalah. Sebetulnya agak suka-suka saja aku di panggil ‘Alim. Tapi kalau yang memanggil orang awam seputar bahasa arab bagaimana? Jadi rumit juga. Sebagian orang kan kadang ada yang belum tau.
Jadi untuk mengantisipasi makna dari hal buruk, cepat-cepat aku menobatkan diri untuk memutuskan membuang huruf ’m’ jadi nama panggilanku ‘Ali’. Seperti sohabat Ali saja yang terkenal cerdik di jaman Rosul.
Ini juga memakan waktu cukup lama supaya teman-teman dapat memahami kondisiku. Mulai dari para anggota pengurus sampai pengurus inti meledek. Yaah, biasalah, sesuatu untuk berbuat baik pasti ada rintangan dan tahap uji coba. Terutama uji coba mental.
Kecuali Dede, dan Rahayu. Mereka mengalir begitu saja mengikuti kemauanku. Sedangkan Fitri mendukung kemauanku.
Teman-teman sepengurus memang ada yang komentar aneh, namun ada yang mendukung dengan caraku ini. Biasanya yang jail itu Begini komentarnya.
“Slametannya kapan Li. Kok tau-tau sudah ganti nama.” ini ledekan Sidik dan Rohim. Terus seperti Arya juga bisa meledek. Padahal ia yang biasa sering pendiam sampai bisa ikut komentar begini,”Li. Kebetulan aku lagi lapar. Nasi slametannya mana?”
Yang lebih mengenaskan lagi. Eh! Tidak juga. Tapi bisa dibilang mengasyikan. Sebuah kejadian yang masih teringat. Ketika hari itu bisa kujadikan hari bersejarah saat Tikno yang ber… Maksudku bisa dibilang yang berjasa. Ketika dia mengenalkan aku dengan adiknya ketua. Siapalagi kalau bukan Fatimah.
Kejadiannya tepat pada ahad ke 3 bulan Januari untuk mengadakan cara pengajian rutinan yang sudah menjadi salah satu program kerja ‘RIMAS’.
Pas kebetulan Arya sempat ditunjuk sebagai pembawa acara berhalangan. Dengan terpaksa mencari pengganti Arya yang mungkin terlambat hadir, atau bahkan tidak hadir yang semestinya Dia bertugas sebagai pembawa acara..
Tikno langsung menawarkan Fatimah,”Gimana kalau adiknya Rohim, dia lumayan bisa untuk ukuran acara sebesar ini”
“Ya silakan,” kata ku biasa.
Tikno pun mencari salah satu gadis dari sejumlah gadis yang berada di salah satu ruangan menunggu waktu pukul sembilan.
Keluarlah Tikno bersama bawaan yang dimaksud. Pas itu Fatimah hanya biasa saja dengan mengenakan jilbab hijau. Kuaggap jilbab warna hijau sebagai lambang kesukaan rosul itu merupakan citra bahwa Fatimah mencintai Rosul. Cantik sekali.
Beberapa teman sepengurus menghampiri yang saat itu bertugas. keputusanku bulat untuk menggantikan Arya dengan Fatimah.
“Oh iya, kenakan dulu!” cetus Tikno didepan sejumlah petugas kala itu. Sebagai tabiat muslim tentu tidak usah pakai salaman. Bukan muhrimnya.
”Ali,” kataku memperkenalkan diri ke Fatimah.
Entah mengapa Fatimah langsung tertahan mulutnya untuk megeluarkan sepatah kata. Mungkin sepatah nama. Semua juga tau bahwa dalam kisah jaman Rosullulloh bahwa Fatimah itu adalah istri…Istri Sohabat Ali.
Nah! dari situlah yang membuat Fatimah sempat terdiam. Akhirnya Ia pun berkata,”Imah.”
“Wah! Sangat cocok! Sama-sama suka menggantikan nama!” tandas Tikno.
Teman-teman pengurus yang mengetahui kejadian itu tertawa, sampai-sampai pandangan para peserta pengajian memandang kearah kami.
Itu! Hanya seklumit dari kisah perjalanan hidup versi ‘suka’ku hampir 6 bulan terhitung dari menjabat sebagai pengurus di ‘RIMAS’. Juga sekaligus usiaku yang hampir 25 tahun. Namun versi ‘duka’ku! Siapa sangka kalau aku lagi penuh masalah 1 tahun terakhir ini.
Kesadaranku nimbrung di ‘RIMAS’ selain berjuang untuk dakwah, lebih condong kepelarian dan alasan yang tepat untuk menjawab sebagian besar masalah hidup yang sekarang ku alami.
Percaya tidak percaya, inilah konsekuensi yang harus kualami sebagai remaja yatim yang melanggar kemauan beberapa saudaraku untuk bekerja sama dengannya.
Dulu! Memang aku tidak bisa mengelak dari jeratan perintah saudarara-saudaraku yang berada di Semarang dan Jakarta, karena merekalah yang mensuplay dana kepada keluargaku pasca meninggalnya ayahku 2 tahun silam saat aku masih duduk di SMA kelas 3.
Cukup bertahan 1 tahun lebih sedikit bekerja ikut paman setelah sudah banyak mengetahui betapa paman sering melakukan cara tidak baik untuk mencari rizki dimuka bumi. Mulai dari mengelabui para karyawan dengan gaji sedikit sampai kesehatan dan keselamatan kerja tidak terjamin. Disamping itu yang menjadi bukti tingkah keserakahannya adalah bisa memiliki 3 rumah tingkat cuma hanya dalam hitungan 3 tahun, menyebabkan sering ku eluhkan, baik secara hanya dalam hati saja, sampai kadang aku berani melontarkannya kepaman disebabkan saking kesalnya diriku.
Sampai pada akhir puncak perselisihan sangat tajam dengan paman, membuat ribut. Sangat ingat jelas kejadian itu, tepatnya pada malam kamis pukul 10.00 malam. Awalnya aku memang sudah memutuskan untuk cepat-cepat pulang kampung dari pada semakin banyaknya menumpuk mengkonsumsi makanan haram yang bisa membuat menjadi bara api di akherat kelak. Pada malam kamis pukul 07.30 malam seusai sholat Isya. Kutunggu paman disalah satu ruangan di lantai atas. Belum juga kudapatkan dirinya, aku putuskan untuk mengikuti pengajian di Masjid yang ada di daerah Taman Ismail Marzuki.
Pengajian selesai pada pukul 09.30 lebih sedikit. Kubuka pintu depan guna masuk kerumah. Kudapatkan paman sedang asyik menonoton TV sambil menyeruput kopi. Suasana memang terbilang dingin saat itu, memang akhir-akhir itu sering ada sedikit permasalahan denganku secara pribadi.
Ibarat sumbu bom yang sudah menyala, yang nantinya akan berujung dengan meledak, dan dalam problemku bersama paman, malam ini lah yang menjadi ledakan.
Tanpa basa-basi lagi, aku luruskan niatku untuk berkata sesuatu,”Paman! Aku mau pulang ke kampung.”
Paman sedikit tersentak, sampai sedikit menyemprotkan ampas kopi kelantai,”Kamu mau pulang?”
Aku mengangguk.
“Kamu tidak tahu kalau kita ada proyek besar! Untuk mendapatkan uang yang banyak!” emosi paman meledak, sekaligus berusaha membawaku kejalan tidak lurus.
Aku terdiam sejenak. Paman mendekatiku, kemudian merenggut kerah kemejaku yang sedkit lusuh. Aku hanya bisa penyaksikan wajah paman yang seolah dengan cepat kemasukan iblis.
“Kamu tahu tidak Lim! Ini proyek besar!”kata paman mengulangi perkataannya yang sebelumnya sudah terucap. Dan berlanjut mengungkit pemberiannya ke aku,”Aku yang membiayai kehidupanmu saat ayah kamu meniggal! Dan aku yang menebus ijasah SMAmu! Dan ini jakarta! Kalau tidak keras kita akan dikerasi orang!”
“Apakah tidak ada cara yang lebih baik tanpa harus seprti itu! Dan semestinya paman bisa memberikan kesejahteraan bagi para karyawan!” keluhku
“Sok tau kamu! Kalo memang aku dan kalau memang sebagian besar uang yang kudapat adalah hasil haram! Anggap saja uang yang haram sudah ku berikan ke Ibu kamu! Dan untuk membiayai adik-adik kamu! Serta menebus ijasah kamu yang memang tidak sedikit biayanya!”
Aku terdiam merambah. Aku seperti tertampar dengan kerasnya. Seperti di lempar ke sungai A. S. Caroni yang berada di Venezuela hingga akhirnya terjatuh melalui air terjun Angle. Dan harus bagaimana aku bangkit dari jiwa yang mendadak sangat terluka, serta pula harus bagaimana aku melawan ucapan penghinaan ini. Kejadian perseteruan aku dengan paman yang berada di ruang tengah memang tidak terdengar oleh penghuni rumah Paman lainnya. Seperti Istri Paman dan kedua anak Paman, yang di sebabkan karena besarnya rumah paman yang memiliki banyak ruangan.
Dengan perasaan sesak di dada. Aku langsung pergi meninggalkan Jakarta.
Sampai di Desa akupun binggung harus berkata apa ke ibu yang hanya membawa uang seadanya. Dan apa yang harus kubilang ke Ibu tentang kejadian pertengkaran aku dengan paman. Bila aku berkata jujur, mungkin Ibu tidak akan menerima kenyataan ini. Bila aku berbohong rasanya aku tidak pantas untuk melakukannya. Terpaksa aku beranilkan diri untuk berbicara sejujur mungkin, toh meski aku rahasiakan nantinya juga akan terbongkar juga.
Lambat laun Ibu memahami keadaanku. Aku mulai bekerja seadanya di Desa ini, seperti membawon setiap kali panen tiba, kerja serabutan memenuhi panggilan dari tetangga sekitar seperti membetulkan genting bocor dan membuat pagar rumah. Sering pula aku berjualan makanan ringan di stasiun kereta api Gombong setiap Sore hingga malam.
Senin, 02 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar