SELAMAT DATANG TEMAN!

Senin, 02 November 2009

Menejemen Cinta

Jujur! Kalau kita mengartikan sebuah kata yang bernama ’cinta’. Pastilah kebanyakan dari kita persepsinya kepada sebuah pasangan seorang laki-laki dan wanita. Mungkin kerena memang sudah terekpos oleh sinetron dan lagu. Tapi kalau kita merujuk dalam sebuah Al Qur’an yang pernah dipaparkan oleh nara sumber dari Surat Al Imron ayat 31 yang berbunyi,”Katakanlah:’jika kamu benar-benar mencintai Alloh, ikutilah aku, niscaya Alloh mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Alloh maha pengampun lagi maha penyayang.” Itu adalah sebuah ayat yang pernah dipaparkan oleh nara sumber pada pembahasan diskusi yang berjudul ‘menejemen cinta’ pada bulan Februari.
Terus pembahasan diskusi ‘menejemen cinta’ menyinggung seputar percintaan remaja. Hrmm, aku jadi sedikit merasa yang tidak-tidak.
Baru aku sadari memang Allah telah memberikan banyak kenikmatan untuk kita, dan balas budi untuk Allah yang kita lakukan didunia, sangat belumlah cukup. Tapi sayang kita jarang mensukuri. Anehnya kita sering melupakan sang Kuasa yang telah memberikan segalanya. Lebih naasnya lagi diantara kita sampai menyekutukannya.
Pernah terdetak dalam pikiranku, kenapa kita harus mencintai wanita melebihi dari sang pencipta, padahalkan dia juga ciptaan sang kuasa. Kenapa juga diantara kita juga masih ada yang menyekutukanNya. Dan kadang kita cinta mati kepada lawan jenis dengan sangat berlebihan, malah kadang kita nekat melakukan sesuatu agar gimana caranya untuk mendapatkannya. Ya kan? Jujur?
Terus terang saja kalau aku pernah mengalaminya tentang seputar itu. Yah, itu dulu awal-awal belum mengenal agama secara baik, pernah juga membanding-bandingkan kecantikan sesama teman pengurus. Ku akui, kejadian itu hanya sekali, bersama Ali. Kejadian itu pas lagi duduk santai di serambi masjid setelah melaksanakan kegiatan pengajian.
“Li! kira-kira Fitri, Rahayu, dan Dede cantikan mana?” Tanya ku.
Ali hanya terdiam, tidak berkomentar apa-apa. Namun dari wajahnya ada sesuatu yang membuat terkesan aneh saat menyaksikan Fatimah sedang sibuk menyapu sebagian halaman masjid. Sangat cepat sekali aku langsung bersuara yang lebih condong berkomentar,”Oh, iya kelihatannya cantikan Fatimah.”
Ali seolah terserang ambiyen, dan raut wajah senyum-senyumnya bertransisi ke wajah datar, disebabkan dapat diketahui isi pikirannya olehku.
Sebagian pengamatanku lagi untuk seputar makna ‘cinta’ adalah bukti cinta kita terhadap Allah dan rosulluloh, semestinya dengan cara mengikuti perintah Allah dan sunah Rosul. Salah satu hal yang paling disukai oleh Allah adalah bersungguh-sungguh dijalannya.
Bicara soal ‘bersungguh-sungguh’, aku jadi teringat ketika acara pengajian berupa diskusi di tempat rekreasi waduk Sempor pada bulan September yang telah usai. Aku, Sidik dan Rohim berjalan-jalan di sekitar waduk Sempor, pada sebuah salah satu dataran tinggi sebagai salah satu sisi rekreasi waduk. Dari situ dapat terlihat kurang lebih 80 persen situasi Kecamatan Sempor dan dapat dilihat pula laut selatan Jawa.
Sidik berkata cukup dramatis,”Lihatlah teman! Ladang dakwah kita! Kita harus bersungguh-sungguh!”
Aku hanya manggut-manggut dengan serius.
“Betul tidak Him?” lanjut Sidik berkata keRohim.
“Iya,iya.” nada Rohim gugup, mungkin disebabkan belum hilangnya perasaan gerogi ketika membawakan prakata ketua ‘RIMAS’ di depan ratusan peserta pengajian.
“Oh iya Rid, kalau rumah kamu disebelah mana?” Sidik bertanya kepadaku.
“Disebelah sana,” aku menunjuk arah Desa Sidarum.
Kembali kepada hal yang berkaitan dengan bersungguh-sungguh, membuat aku tergugah untuk melakukan sesuatu untuk keberlangsungan ‘RIMAS’ yang nampaknya mulai goyah.
Memang, tidak ada organisasi terlepas dari permasalahan. Karena masalah pastilah hadir. Seperti halnya ‘RIMAS’ pada rapat bulan Maret minggu ke 3 yang memasuki pertengahan kepengurusan sekarang berjalan. Pas lagi rapat ketua mencoba mengoreksi kekurangan masing-masing, termasuk dirinya. Mungkin aku yang terkenal tegas dalam kepengurusan mencoba memberi masukan kepada ketua agar bersungguh-sungguh dalam kepengurusan untuk menindak siapa saja yang terkesan main-main dan tidak bertanggung jawab dalam kepengurusan.
Pas waktu itu, aku memang sangat serius. Gimana tidak serius! Islam yang sedang goncang di bumi Indonesia terjadi! Selain itu, demi kebangkitan bangsa ini yang sedang terpuruk! Tentunya kita harus tidak main-main. Apalagi globalisasi sudah di depan mata! Tapi sebagian dari pengurus bergerak lamban seperti keong! Malah pas rapat berjalan ada yang sempat-sempatnya bersendau gurau, ada yang melawak, ada yang telat, ada yang iseng-iseng menangkap lalat yang hinggap di meja, ada pula yang sampai tidak ikut rapat. Apakah pemuda seperti ini yang namanya para pemuda yang menjadi tiang agama! Atau kah sekedar reuni antar pemuda Islam saja setiap efen acara rapat digelar.
Pada rapat bulan Maret minggu ke kedua adalah puncak keseriusanku untuk melakukan trobosan baru agar teman-teman serius dalam mengemban dakwah.
Saat itu, aku hendak masuk ke ruangan rapat yang sudah dihinggapi beberapa teman sedang bersendau gurau. Terdengar Suara Rahayu dan Tikno yang dibantu oleh Sidik sedang bercanda. Melangkah lebih dekat, Dede sahabat dekat Rahayu juga membantu debat melawan Tikno yang berkolaborasi dengan Sidik. Memang begitulah akhir-akhir ini sebagian pengurus ‘RIMAS’ antara Tikno, Sidik, Rahayu dan Dede. Mungkin! Meski rapat berjalan hanya empat orang terdiri dari Tikno, Rahayu, Dede dan Sidik sudah terdengar seperti ada belasan anak dikantor.
Selang beberapa waktu semua pengurus inti dan para ketua Departemen sudah hadir dalam Rapat, kecuali Arya.
Arya?
Arya memang sering terlambat bahkan tidak berangkat belakangan ini dalam mengikuti kajian, dialog dan rapat. Entah mengapa ini harus terjadi? Ketika itulah masalah yang bisa dikakagorikan terbesar pada hari kemarin pas rapat merupakan bencana besar bagi keluarga ‘RIMAS’. Sengaja kubuat trobosan seperti ini agar mereka dapat melangkah dengan sungguh-sungguh.
Rapat sudah dimulai. Tinggal Arya yang belum kelihatan batang hidungnya. Dalam hitungan puluh menit dari acara berjalan Arya baru kelihatan.
“Assalmualaikum,” salam Arya sembari berjalan ringan menuju kursi kosong yang berada di dekat Sidik.
“Wa’alaikum salam,” jawab pengurus lain hampir serempak termasuk aku.
Seharusnya, Arya sebagai wakil ketua duduk berada disamping Rohim. Aku sempat menyaksikan wajah Arya pada rapat kala itu memiliki wajah yang cukup bermasalah. Tidak seperti biasa dia sering melontarkan senyum ringan kepada siapa saja, senyum kali ini, dia tersenyum yang seolah menutupi masalah pada dirinya.
Rapat pun berlanjut kembali. Setelah bahas sana-sini seputar lanjutan perjuangan, langsung ke pembahasan evaluasi kepengurusan. Hingga di tengah-tengah terjadi saling kritik mengkritik sesama pengurus.
Dan tentunya Arya paling banyak kena pembicaran, mulai dari cari tahu sampai berupa perhatian ke Arya, mengapa Arya frekuensi kemunculannya di ‘RIMAS’ semakin menurun. Sampai, adakala kritikan yang kurang mengenakan pun hadir untuk Arya.
“Ar kenapa kamu sering terlambat dalam setiap acara?” tanya Rohim sang ketua umum ‘RIMAS’ yang berada duduk dikursi jejaran bagian Selatan sendirian.
“Maaf. Aku sering sebuk,” jawab Arya.
Semua terdiam. Seolah pikiran mereka terfokus pada situasi Arya.
“Apakah kamu tidak bisa menejemen waktu?” Tanya Ku tegas.
Arya hanya terdiam. Sedangkan Rohim sendiri, aku melihat dia seakan merasa sedikit tersinggung dari bukti gelagat wajahnya, karena sedikitnya aku tahu kalau masalah tidak bisa membagi waktu, itu juga terdapat pada dirinya. Perbedaan Arya dan Rohim dalam mensikapi waktu yang mungkin sepertinya sama-sama sibuk. Adalah kalau Arya lebih mementingkan kegiatan rumah untuk membantu keluarga. Sedang kan Rohim lebih mengorbankan rumah mesti yang jadi sasaran untuk berbagi beban adalah adiknya yang bernama Fatimah.
“Aku rasa semua juga memiliki kesibukan!” lanjut Ku.
Arya hanya terdiam menghadapi kritikan dariku dan beberapa teman. Kalau pun Arya menyangkal tidak ada artinya. Apa lagi bukti untuk mmberikan pernyataan kesibukannya belum bisa ke teman-teman lain, yang memang belum mengetahui rutinitas kesehariannya.
“Bisa dikatakan kesibukannya selain di ‘RIMAS’?” Tanya Rohim lumayan berhati-hati.
“Membantu orang tua! Arya suka membantu orang tua!” jawab Sidik mewakili Arya. Sepertinya dari awal kritikan berjibun untuk Arya Sidik seakan tidak terima. Sidik memulai untuk membela Arya.
“Kita semua tahu Ar, bahwa kamu adalah wakil ketua umum!” perkataan ketegasanku berkurang. Aku pun juga agak semakin tidak tega meneruskan sejenis intimidasi yang menyaksikan wajah Arya nampak tertekan, dan aku berlanjut kenada pelan lagi mengeluh,”Ketua tidak tegas! Wakil juga seperti itu. Seharusnya jadi suri tauladan!”
Pembicaraan ketegasan terhebatku inilah yang membuat suasana menjadi tegang. Menjadikan beberapa anggotaku menggeser duduknya menjauhi aku. Menjadikan Rahayu yang biasa melontarkan ide segar, bungkam seketika. Dan Tikno tidak berani untuk melontarkan perkataan lawakannya. Dan salah-satu anggota Tikno yang biasa mendampingi duduk disamping bernama Joko langsung menghentikan rutinitasnya menangkap lalat.
“Ar, bisa dijelaskan semuanya. Mungkin kalau ada kesulitan kita semua disini bisa mengerti kesulitan mu. Kalau perlu membantumu,” Rahayu mencoba ikut bersuara penuh perhatian.
“Mungkin, aku, aku tidak pantas, untuk menjadi wakil ketua umum,” Akhirnya Arya berkata sesuatu dengan nada terbata-bata. Dari cara bicara dan nada yang dikeluarkan membuat sebagian besar pengurus lainnya tercengang.
Arya melanjutkan terbata-batanya,“Kalau, kalau memang...Aku sudah tidak pantas menjadi wakil ketua. Aku akan…”
“Tidak Ar!” Sidik cepat-cepat memotong. Seakan-akan Sidik membela mati-matian untuk Arya,”Setiap manusia memiliki kekurangan! Namun! Apakah dengan kekurangan kita hanya sibuk saling memojokan! Atau menyesali.”
Aku pun sempat bertanya-tanya. Ada apa dibalik semua masalah Arya telah menjadi tanda tanya besar bagi ku, juga mungkin bagi kalangan pengurus. Juga entah kenapa Sidik membela dengan bersemangat.
“Tapi dari sisi kekurangan semua manusia semestinya dapat mensikapi aneka ragam permasalahan!” Aku kembali bergeriya, melawan Sidik yang membela Arya.
“Kamu tahu apa Rid! Kamu hanya bisa mengandalkan emosi! Untuk melangsungkan dakwah!” makian Sidik menerjang aku sambil bangkit dari tempat duduk.
Aku hendak berdiri. Tapi didahului Fitri bangkit dari duduknya. Langsung melerai aku dan Sidik yang memang semakin memanas,”Sudah, sudah, sudah! Kita ini sudah sama-sama dewasa! Harusnya tidak seperti ini caranya! Kalau dalam tubuh dakwah saja seperti ini! Bagaimana kita bisa berjalan dengan baik.”
Sidik memulai duduk. Kemudian Fitri. Akhirnya aku pun ikut duduk yang sempat berdiri untuk melawan perdebatan bersama Sidik.
Semua nampak tegang. Terpaku pada pikiran masing-masing.
Setelah sekian puluh detik pada terpatung, akhirnya Fitri kembali memulai pembicaraan dengan nada perhatian sekaligus peduli,”Ada baiknya, kita harus tanya pada diri sendiri, kenapa kita harus saling bertikai saat ini. Apakah diantara kita punya masalah serius di balik perjalan dakwah ini, atau kah kita punya masa lalu yang kurang menyenangkan menjadikan kita seperti ini, atau kita tidak belajar dengan serius dalam perjalan dakwah ini. Semestinya kita harus saling tahu untuk memahami satu sama lain.”
Semua terdiam. Seolah merenungkan apa yang di ucapkan Fitri. Fitri yang memang terbilang senior. Fitri yang memang paling baik dalam menjalankan kendaraan dakwah di ‘RIMAS’. Dan memang sifatnya yang dewasa membuat kala itu, Fitri se akan-akan menjadi penasehat dadakan.
Aku juga merasa tersinggung atas ucapan tentang adanya masa lalu yang tidak menyenangkan saat aku menjadi ketua HMI di Unsoed Purwokerto.
Tiba-tiba Arya yang larut dalam sedih, bangkit dari duduknya, langsung berjalan cepat untuk meninggalkan kantor. Sidik berusaha untuk mencegah. Tapi usahanya gagal.

***
Sudah seperempat jam Dede duduk disofa yang terdapat di ruang tengah menunggu Rahayu muncul dari kamarnya. Sembari menunggu, Dede sempat dipinjamkan plasdisk MP3 oleh Rahayu untuk menunggu dirinya.
Akhirnya muncul juga. Rahayu dari atas turun melalui tangga sedikit tergesah-gesah.
“Waahh, kamu punya koleksi nasid banyak yah Yu?” tanya Dede yang sudah mendengarkan lagu Nasyid yang ke tiga.
“Yah begitulah,” singkat Rahayu yang sudah rapi dalam kondisi berjalan dianak tangga.
Dede sedikit memperbaiki tatanan dua kabel yang terselip dalam jilbab Dede yang terpasang di dua kuping Dede sebagai aliran suara yang berpusat pada plasdis MP3.
“Memang ada berapa grup nasyid yang ada dalam plasdisk ini?” tanya Dede.
“Banyak,” langkah Rahayu menuju perpustakaan.
“Banyak? Kalau Izatul Islam ada tidak?” tanya Dede sembari membuntuti langkah Rahayu.
“Ya ada.”
Mendadak Dede merasa tertarik untuk memilikinya,”Memang harganya berapa?”
“Enam setengah.”
Dede beranggapan bahwa harga itu cukup terjangkau untuk membelinya,” Belinya dimana?”
“Belinya di Jakarta, kalau dikota besar seperti Gombong atau Kebumen mungkin belum ada.”
Mendengarkan keterangan dari Rahayu seolah ini merupakan barang langka. Dan sesuatu barang langka pasti harganya juga tergolong mahal untuk ukuran Dede, membuatnya kembali mempertanyakan harga sesungguhnya,”Enam setengah itu berapa?”
“Enam ratus lima puluh ribu,” terang Rahayu.
Dede yang buta akan barang mewah itu membuat wajahnya berubah aneh, salah satu keanehan itu membuktikan matanya secara spontan setengah melotot. Untung aksi lototan salah satu kebiasan Dede tak tercontek oleh Rahayu, menjadikan Rahayu biasa saja. Begitu cepat Dede langsung mencabut dua salon hensed yang terselip didalam jilbab langsung dikeluarkannya untuk diberikan ke pemiliknya.
“Ini Yu plasdisk mu.”
“Loh! katanya kamu suka Nasid Izzatul islam? Sudah sampai kelagu itu belum?”
“Emm, tidak perlu, aku sudah puas,” tangan Dede seolah sedikit memaksa agar Rahayu mau menerima plasdisk miliknya.
Rahayu seolah bisa membaca sesuatu dari temannya ini tentang sedikit keminderan Dede terhadap kekayaan,”De! Aku tahu kenapa kamu mengembalikan plasdisk?”
Dede yang merasa terbaca terdiam.
“Sudah lah tinggal dipakai,” lanjut Rahayu.
“Aku khawatir kena infeksi kupingku kalau sering-sering memakai barang ini.”
“Infeksi karena hensednya atau infeksi kalau aku pemiliknya?”
“Yah karena hensednya. Kok seperti tersinggung,” nada Dede menghibur.
Langkah mereka melewati perpustakaan.
“Vi! lagi baca apa?” tanya Rahayu ke Vivi salah satu penjaga perpus.
“Novel karyanya Gola Gong,” jawab Vivi yang serius membaca buku.

Disitu juga sudah didapatkan beberapa anak kecil sedang membaca buku dongeng Islami.
“Mba akan bawakan buku baru,” tandas Rahayu ke Vivi.
“Buku apa Mba?” tanya Vivi.
“Besok juga tahu.”
Hendak Rahayu dan Fitri melangkah ke Bagasi Vivi berkara sesuatu,”Mba!”
Langkah mereka berdua tertahan sejenak.
”Yah,” sahut Rahayu.
“Kemarin mas Tikno pas hari Rabu main kesini,” kata Vivi memberi kabar.
“Memangnya kalau dia kesini kenapa?” seolah Rahayu tak peduli atas kehadiran Tikno.
“Tidak kenapa-napa. Cuma...” Vivi sengaja memotong perkataan agar Rahayu penasaran.
“Cuma apa?”
“Tikno tanya Mba,” lanjut Vivi.
“Kira-kira ada apa yah?” sela Dede sedikit meledek.
“Aah! paling dia ngajak bercanda,” Rahayu mencoba wajahnya biasa saja.
Rahayu dan Dede sudah sampai bagasi. Mereka berdua langsung menaiki motor untuk menuju tempat acara bedah buku.
“Oh iya De, kamu tau rumahnya Arya?”
“Rumahnya Arya?” Dede seolah merasa aneh hari ini dengan sikap dan nada bicara Rahayu yang perhatian.
“Iya. rumahnya Arya?” ulang tanya Rahayu.
“Tidak tau.”
“Ya sudah. Habis kita beli CD dan ikut acara bedah buku, kita cari rumah Arya,” kata Rahayu memberikan serangkaian kegiatan hari ini.
“Memangnya ada apa?” tanya Dede.
Rahayu hanya tersenyum. Kemudian memberikan helm ke Dede.
“Oh iya, dia tidak kelihatan lagi di pertemuan. Perlu ditanyakan juga.” Pertanyaan Dede dijawab sendiri.
Langsung mereka tancap gas menuju tempat yang dituju.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar