SELAMAT DATANG TEMAN!

Sabtu, 02 Januari 2010

Stop! pengurugan sawah


Berita pertama dari kota Tanggerang
Tangerang, Kompas - Luas lahan pertanian, terutama untuk tanaman padi, di
Kabupaten Tangerang kini semakin berkurang setelah terjadi pengalihan fungsi
lahan besar-besaran dari areal sawah menjadi tanah darat. Luas areal pertanian
yang dialihkan fungsinya setiap tahun cukup signifikan, yaitu sekitar 500
hektar.

Hal ini terjadi karena pesatnya pembangunan infrastruktur, seperti jalan dan
perumahan, sementara pemeliharaan saluran irigasi yang sangat dibutuhkan petani
terabaikan. Akibatnya, banyak lahan sawah terkena imbas lalu dijadikan tanah
darat untuk membuat rumah dan sebagainya.

Kepala Dinas Peternakan dan Pertanian Kabupaten Tangerang Didi Aswadi, Rabu
(10/1), menyatakan, luas areal sawah di wilayahnya kini sekitar 41.000 hektar.
Angka ini turun 10.000 hektar hingga 12.000 hektar dibandingkan dengan luas
lahan sawah di Kabupaten Tangerang 20 tahun lalu.

"Memang sejak tahun 1980-an saat industri mulai banyak dibuat, penurunan
lahan sawah rata- rata berkisar 500 hektar per tahun. Namun dengan lahan sawah
yang ada sekarang, sebenarnya masih memadai karena mencapai 38 persen dari
total luas Kabupaten Tangerang yang mencapai 111.000 hektar," ujar Didi
menjelaskan.

Ia tidak menampik fakta yang menunjukkan banyak saluran irigasi harus
diperbaiki guna menaikkan produktivitas lahan sawah yang tersisa.

Mulai tahun 2006, kata Didi, pemerintah pusat dan daerah mulai menganggarkan
dana perbaikan saluran irigasi di Kabupaten Tangerang. Jumlah dana lebih dari
Rp 1 miliar.

Untuk mengembalikan kejayaan Kabupaten Tangerang di bidang persediaan pangan,
menurut Didi, Pemerintah Kabupaten Tangerang akan segera memulai program lahan
pertanian abadi (LPA). "Rabu pagi sampai siang tadi kami rapat bersama Pak
Bupati (Ismet Iskandar) dan beliau menyetujui LPA serta berharap program itu
bisa segera mulai diwujudkan," kata Didi.

LPA adalah program kelompok usaha ekonomi bersama yang akan memadukan unsur
pertanian (padi dan tanaman hortikultura), peternakan, pemupukan, dan lainnya
dengan teknologi di atas lahan seluas 300 hektar.
Program itu diadopsi Didi dari Jepang dan dibuat komoditas mengikuti kondisi
lahan.

Berkaitan dengan rencana itu, saat ini para petani padi dilarang membakar
jerami sebab jerami diminta dibiarkan di sawah agar membusuk lalu menjadi
pupuk. Kelak pemakaian pupuk organik dari sampah jerami dan kotoran hewan akan
menjadi prioritas daripada pupuk buatan.

Serangkaian kegiatan, seperti pemetaan lahan dan inventarisasi saluran
irigasi, akan dimulai tahun 2007 untuk menentukan wilayah mana yang bisa
digunakan menjadi areal LPA. Diperkirakan tahun 2008 pertanian lahan abadi
sudah dapat diterapkan.

Produktivitas turun
Menurut data pada Kabupaten Tangerang Dalam Angka, tahun 1998 terdapat areal
panen padi sawah seluas 74.742 hektar dengan produksi 478.210 ton atau
rata-rata 6,4 ton per hektar. Empat tahun kemudian, luas areal panen turun
tinggal 63.807 hektar dengan produksi 425.142 ton gabah kering giling.
Tahun 2003, areal luas panen kembali turun ke angka 57.395 hektar dengan
hasil gabah kering giling 383.140 ton, tetapi tahun 2004 areal panen padi
meningkat sampai 71.033 hektar dengan produksi 476.276 ton.

Berita kedua dari kota Yogyakarta
Yogyakarta, 13/1 (Regional.Roll) - Lahan pertanian di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) semakin menyempit setiap tahun karena pelaksanaan pembangunan di daerah ini rata-rata menggunakan lahan hingga 80 hektare.

"Ini sangat memperihatinkan, lahan pertanian di daerah ini menyempit dari tahun ke tahun, bahkan sebagian besar adalah lahan sawah yang subur," kata Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Bantul, Edi Suharyanto, di Bantul, Selasa.

Penyempitan lahan itu harus menjadi tanggung jawab semua pihak. Semua instansi harus bertanggung jawab termasuk Dinas Pertanian.

Ia mengatakan, instansi lain seperti Dinas Pendidikan seharusnya menanamkan rasa cinta dan menghargai tanaman sejak dini kepada masyarakat.

"Di sejumlah negara berkembang, satu rumah tingkat bisa digunakan oleh sejumlah keluarga, jadi lebih hemat lahan dan tidak mengganggu lahan pertanian," katanya.

Sedangkan dinas yang memberikan izin bangunan dan alih fungsi lahan juga harus bertanggung jawab, bahkan seharusnya Dinas Pertanian ikut dilibatkan memberikan rekomendasi kepada pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan pembangunan.

Ia mengatakan, total keseluruhan lahan persawahan di Kabupaten Bantul mencapai 16.200 hektare, sedangkan untuk lahan kering seluas 24.500 hektare.

"Lahan yang paling sering terjadi penyempitan adalah di Kecamatan Sewon, Banguntapan, Kasihan dan Kecamatan Bantul," katanya.

Edi menambahkan ada sejumlah cara untuk menekan penyempitan lahan pertanian di Kabupaten Bantul, yaitu dengan meningkatkan produktivitas lahan tersebut.

"Petani yang lahannya masih subur saya imbau untuk meningkatkan produktivitas. Salah satunya adalah menggunakan berbagai jenis pupuk, tidak hanya urea, tetapi juga pupuk lain agar hasilnya lebih baik," katanya.


Berita ketiga dari kota karawang
Berdasarkan data yang ada di Kantor Pembangunan Desa (Bangdes)
setempat (1994) di Kabupaten Karawang terdapat 9.425 kepala keluarga
miskin yang menyebar di 66 desa dan 15 Kecamatan Batujaya, yang
merupakan kecamatan tertinggal di utara Karawang. Kondisi jalan rusak
yang dijumpai menjadi salah satu penyebab utama rendahnya harga jual
gabah pada saat panen, khususnya pada musim hujan.

Hal itu sekaligus menyebabkan tingginya biaya transportasi dan secara
pelan tetapi pasti, menarik berbagai pihak untuk masuk dalam sektor
informal per-ojek-an, termasuk para petani dan keluarganya. Keadaan
ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan lahan garapan petani
semakin menyempit atau berubahnya status petani dari petani pemilik
penggarap menjadi petani penggarap atau buruh tani.

Luas wilayah desa ini sekitar 452 hektare dengan lahan sawah sekitar
350 hektare atau 77,4 persen. Sedangkan jumlah penduduk 3.738 jiwa
dengan 788 kepala keluarga (KK). Dengan demikian, kepadatan pertanian
di desa ini sudah tinggi, yakni hampir 11 jiwa per hektare sawah atau
satu keluarga menguasai sawah kurang dari setengah hektare.

Produktivitas lahan sawah tersebut bervariasi antara 5-7 ton gabah
kering panen (GKP) per hektare. Sekalipun diairi dengan sistem
pengairan irigasi, sawah-sawah hanya ditanami dua kali dalam setahun
(IP=200 persen). Tingkat produktivitas tersebut masih tergantung pada
musim dan intensitas hama dan penyakit tanaman. Pada musim kemarau ini
(1995) produktivitas padi sawah menurun drastis sampai 0,5-2,5 ton per
ha, karena serangan hama sundep yang cukup berat.

Berdasarkan kuantitas dan kualitas lahan sawah yang tersedia di desa
ini, dapat dibayangkan betapa sulitnya petani untuk mengangkat tingkat
kesejahteraannya. Kendatipun petani telah menerapkan teknologi
usahatani yang maju (intensifikasi) dengan luas lahan garapan setengah
hektare, pendapatan petani dari usahatani, pada umumnya tidak mencapai
Rp 150.000 per keluarga per bulan.

Fenomena tersebut di atas akan lebih mengharukan apabila diperhatikan
status penguasaan lahan sawah. Jumlah petani pemilik penggarap di desa
ini merosot cukup cepat dari tahun ke tahun. Data dari Buku Daftar
Isian Data Potensi Desa setempat (1995) menunjukkan bahwa jumlah
petani pemilik penggarap sekitar 17 persen, petani penggarap 57 persen
dan buruh tani 26 persen. Petani penggarap bagi hasil (maro) lebih
umum daripada sewa, karena risiko sistem sewa lebih tinggi daripada
bagi hasil.

Secara umum pendapatan petani penggarap tersebut akan jauh lebih
rendah daripada petani pemilik penggarap, karena selain hasil
usahatani harus dibagi dua, petani penggarap pun harus menanggung 50
persen biaya sarana produksi (bibit, pupuk dan obat), panen, iuran
rutin dan pembangunan desa serta menanggung 100 persen biaya tenaga
kerja atau alat mesin pertanian (alsintan) untuk pengolahan tanah,
tanam, penyiangan, pemupukan dan pemeliharaan.

Keadaan buruh tani sudah tentu lebih memprihatinkan lagi. Ragam sumber
mata pencarian sangat terbatas. Mereka mengandalkan pada usaha buruh
tani sebagai pemborong tanam dan ceblokan, yakni melakukan penyiangan
tanpa mendapat upah untuk mendapatkan hak panen.

Dengan cara ceblokan tersebut pihak pemanen (buruh tani) akan
memperoleh bagian sekitar 17 persen dari total hasil panenannya,
dengan perhitungan satu hektare areal panen memerlukan sekitar 6-9
keluarga agar selesai dalam dua tiga hari kerja. Sumber pendapatan
lainnya, baik bagi petani penggarap maupun buruh tani adalah sektor
informal, seperti berjualan bakso (kaki lima) di kota Bekasi, Jakarta
atau membuat bahan bangunan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar