
TOKYO--Pelan tetapi pasti. Demikian nampaknya langkah yang menjadi pilihan Jepang untuk mewujudkan ambisinya sebagai "negara normal", yaitu yang memiliki kekuatan ekonomi dan juga politik di tingkat global.
Saat ini Jepang belum bisa disebut negara normal, mengingat dunia saat ini hanya mengakuinya sebagai kekuatan ekonomi semata, tetapi impoten dalam kekuatan politik. Perlindungan dan kebijakan keamanan yang selalu meminta restu Amerika Serikat mempertegas julukannya sebagai negara boneka AS.
Tidak heran kalau terpilihnya kembali Jepang sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan (DK) PBB pada 18 Oktober lalu, seperti membuka kembali jalan Jepang meneruskan ambisinya sebagai negara normal. Dengan menjadi anggota tetap DK PBB akan memberi "legitimasi" bagi Negeri Sakura itu untuk berperan aktif dalam percaturan politik internasional.
Sebuah legitimasi internasional nampaknya diperlukan untuk mengubah bangunan konstitusi Jepang yang "melarang" kegiatan militer aktif kecuali untuk membela diri. Apalagi dengan dimasukinya millenium baru terjadi transformasi paradigma dari anti komunis menjadi anti terorisme, yang membutuhkan kehadiran aktif Jepang di kancah global.
Simak saja reaksi Tokyo yang begitu gembira ketika mengetahui Jepang terpilih kembali. Jepang langsung menegaskan sikapnya untuk memainkan peran yang lebih aktif dan konstruktif dalam mengupayakan perdamaian dan keamanan internasional. "Jepang juga akan mewujudkan reformasi di tubuh Dewan Keamanan PBB, sekaligus mengupayakan menjadi anggota tetap DK PBB," kata Menlu Jepang Hirofumi Nakasone seperti dikutip Kyodo.
Dalam perspektif hubungan internasional, apa yang menjadi keinginan Jepang sejalan dengan pandangan kaum realis yang berpendapat bahwa negara besar (Great Powers) ikut bertanggungjawab dalam menjaga perdamaian dunia. Oleh karenanya, Jepang yang merupakan kekuatan ekonomi dunia (anggota negara-negara industri maju - G8), perlu mendapat kewenangan dan tanggungjawab khusus juga.
Apalagi jika menengok jauh ke belakang, Jepang sudah memiliki semboyan "Ukoku kyohei" atau "negara kaya dengan militer yang kuat". Sebuah semboyan yang menjadi spirit Restorasi Meiji.
Mustahil
Namun bila berkaca pada piagam PBB, maka upaya Jepang untuk menjadi anggota tetap DK PBB sangatlah mustahil. Belum lagi mengingat sejarah masa lalu Jepang. Perang dengan China (1894-1895), dengan Rusia (1904-1905) dan juga di era Perang Dunia II. Sentimen anti Jepang masih terasa kental di China, Korea (Utara dan Selatan) serta negara-negara ASEAN lainnya.
Penghapusan artikel 53 dan 107 dalam piagam PBB mengenai status "enemy states` yang disandang Jepang, Jerman, dan sejumlah negara Eropa lainnya tentu saja menyusahkan Jepang. Upaya mengubah status tersebut pernah diupayakan dengan gigih di era PM Koizumi, namun selalu kandas di tengah jalan.
China lantas menggunakan hak veto-nya untuk mengkandaskan ambisi Jepang pada tahun 2005, saat negara-negara anggota PBB merasa perlu untuk mereformasi DK PBB. Sedangkan kendala bagi Jerman datang dari Italia, sehingga memunculkan kesan bahwa G8 sendiri masih setengah hati dalam memunculkan anggotanya untuk duduk sebagai angota tetap DK PBB.
Kemustahilan menjadi anggota tetap DK PBB dikemukakan pakar politik internasional dari The National Graduate Institute for Policy Studies (GRIPS). Sebuah lembaga "think tank" yang dibangun pemerintah Jepang sendiri. "Mustahil menjadi anggota tetap DK PBB walau Jepang kembali terpilih sebagai anggota tidak tetap DK PBB," kata Profesor Takashi Shiraishi dalam perbicangannya dengan ANTARA, Minggu.
Menurut Wakil Pimpinan GRIPS itu, pihaknya sudah mempelajari kemungkinan pengubahan piagam PBB sejak dua tahun lalu, dan hasilnya memang mustahil untuk mengubahnya dalam situasi saat ini.
Di Jepang sendiri muncul pandangan yang kuat bahwa sangatlah bermanfaat bila Jepang menjadi anggota tetap DK PBB, lebih didasarkan pada persoalan keamanan semata-mata, khususnya dengan ancaman nuklir dan peluru kendali dari Korut. "Jika ada yang berpendapat dengan menjadi anggota tetap DK PBB maka memudahkan Jepang untuk menunjukkan perannya dalam keamanan regional dan global, saya meragukan hal itu," katanya.
Mengenai sikap China, pemerintah Jepang pun merasa perlu mengubah paradigmanya yang menggandeng China sebagai kawan ketimbang sebagai lawan yang dibuktikan dengan saling kunjung para pemimpin dari kedua negara. "Kata kunci sebenarnya adalah sinergi, sehingga upaya yang lebih aktif dalam mewujudkan perdamaian dunia bisa dilakukan bersama," kata Deputi Press Secterary Yasuhisa Kawamura kepada ANTARA awal November lalu ketika ditanya soal sikap ngototnya Jepang jadi anggota tetap DK PBB.
Jepang sendiri bersama Jerman, Brazil dan India, sempat mengajukan "Usulan G4" pada tahun 2005 untuk menjadi anggota tetap DK PBB, namun proposal itu kandas. Argumen yang diusung G4 antara lain Jepang dan Jerman merupakan penyumbang kedua dan ketiga terbesar di PBB setelah AS. Jepang menyetor dana sebesar 16,62 persen dari total kebutuhan dana PBB yang mencapai 1,2 miliar dolar AS setahunnya.
Hegemoni pemenang perang
Upaya untuk mereformasi PBB sebetulnya sudah berlangsung lebih dari satu dekade lalu, menyusul ketidakpuasan atas kinerja PBB, khususnya DK PBB yang dinilai tidak demokratis. Pangkal soalnya adalah soal hak veto yang dinilai tidak relevan lagi.
Walau demikian keanggotan tetap DK PBB tetaplah menjadi incaran banyak negara, terutama bagi negara yang merasa besar dan maju. Entah itu besar dalam ukuran luas wilayah, populasi, idiologi dan sebagainya. Hal itu disebabkan karena lembaga tersebut punya otoritas besar dalam percaturan global.
Dalam kenyataannya posisi negara besar atau pemenang perang memiliki peran yang lebih besar dalam menentukan agenda internasiol. Meminjam istilah Gramsci, negara anggota tetap DK PBB itu merasa memiliki hegemoni, kelas yang lebih tinggi untuk mengatur dan mendominasi tatanan dunia.
Bagi Jepang sendiri, posisinya di DK PBB hendak digunakannya secara bijaksana guna memuluskan jalan menjadi anggota tetap DK PBB di masa mendatang, seperti ditulis Yomiuri Shimbun edisi 19 Oktober 2008. "Posisi tersebut menjadi signifikan mengingat perubahan dunia saat ini, sehingga membuat Jepang perlu menjalankan tugasnya dengan baik agar bisa memberikan hasil positif," demikian Yomiuri.
Upaya untuk mendapatkan dukungan yang kuat dari negara lain, beberapa tahun belakangan aktif dilakukan Jepang melalaui kerjasama dengan negara berkembang dengan menawarkan bantuan ekonomi, seperti dengan Afrika maupun Asia. Konferensi TICAD untuk Afrika merupakan bukti betapa Jepang cukup memiliki pengaruh di benua hitam tersebut, begitu juga dengan negara-negara Asia lainnya.
Kenyataan bahwa tatanan dunia kini sedang berubah membuat reforomasi DK PBB juga suatu tuntutan yang mutlak diperlukan di masa depan. Negosiasi dan tawar menawar akan selalu terjadi. Apalagi masalah-masalah seperti pemanasan global, terorisme, kejahatan lintas batas, kemiskinan, wabah penyakit sudah mulai menjadi beban dari masyarakat internasional.
Namun demikian, Jepang nampaknya harus menghadapi kenyataan bahwa ambisinya untuk menjadi negara normal akan terus berhadap dengan beban sejarah masa lalunya.Benny S Butarbutar/ant/ya
Senin, 21 Desember 2009
Ambisi jepang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
















Tidak ada komentar:
Posting Komentar